Permenakertrans nomor 19/2012 akan mulai efektif berlaku mulai
Nopember 2013. Peraturan ini mengatur penyerahan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain. Pemindahan pekerjaan dari satu perusahaan ke
perusahaan lain biasa disebut “outsourcing”. Pekerjaan yang boleh diserahkan kepada perusahaan lain kegiatan diluar usaha pokok (core business)
suatu perusahaan, antara lain : usaha pelayanan kebersihan, penyediaan
makanan bagi pekerja, usaha tenaga pengaman, usaha penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan
pekerja/buruh.
Penggunaan outsourcing memungkinkan perusahaan lebih focus
dalam kegiatan utamanya, sedangkan kegiatan pendukung diserahkan pihak
lain yang mengelola. Struktur manajemen akan lebih ramping karena jumlah
pegawai lebih sedikit dan praktis karena berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan kegiatan diluar usaha pokok ditangani perusahaan lain.
Hal ini akan mendorong terjadinya proses spesialisasi sehingga lebih
menguntungkan bagi perusahaan.
Pengelolaan kegiatan usaha pokok juga terjadi kecenderungan dalam hal
rekrutmen pegawai kontrak yang diambil dari perusahaan lain yang
bergerak dalam bidang jasa penyedia tenaga kerja. Perusahaan tidak perlu
dipusingkan dengan system karier, penggajian, pension/pesangon dan lain
sebagainya terkait dengan manajemen SDM. Lebih praktis karena pegawai
kontrak yang tidak sesuai dengan target perusahaan tidak akan
diperpanjang kontraknya dan akan dengan meudah mendapat penggantinya
dariperusahaan penyedia tenaga kerja. Meski perusahaan pengguna pegawai
kontrak harus membayar manajemen fee, hal ini wajar karena pegawai tersebut dibawah kendali penyedia tenaga kerja.
Meski menguntungkan perusahaan, sistem ini merugikan karyawan outsourcing dan
kontrak, selain tidak ada jenjang karier, terkadang gaji mereka yang
telah dibayar oleh perusahaan pengguna dipotong oleh perusahaan induk
atau penyedia jasa tenaga kerja. Bayangkan, presentase potongan gaji ini
bisa mencapai 30 persen, sebagai jasa. Celakanya, tidak semua karyawan
outsourcing atau kontrak mengetahui berapa besar potongan gaji yang
diambil oleh perusahaan jasa outsourcing atau penyedia tenaga kerja sebagai jasa memberi pekerjaan di perusahaan lain tersebut.
Dalam perkembangannya, lantaran dianggap tak memberikan jaminan
kepastian bekerja, tak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan,
sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan atas
legalisasi sistem outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT – kerja kontrak) ini. Caranya dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan permohonan No 12/PUU-I/2003.
Ada beberapa pasal yang diuji, termasuk Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal outsourcing.
Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga ketentuan tersebut. Salah
satu pertimbangan dalam putusan No 12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem outsourcing tidak merupakan perbudakan modern (modern slavery) dalam proses produksi.
“Outsourcing” adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
sedangkan perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan perikatan
antara perusahaan dengan karyawan kontrak yang dibuat berdasarkan jangka
waktu tertentu untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya, dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak
menyebutkan istilah “Outsourcing”. Yang ada adalah “pemborongan
pekerjaan”. Pasal 64 dan pasal 65 menyebutkan bahwa Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pemborongan Pekerjaan merupakan aktivitas perusahaan. Output yang
diserahkan oleh penyedia jasa dalam pemborongan pekerjaan adalah
produk jasa seperti jasa kebersihan, keamanan, catering, angkutan dan
jasa lain.
Berbeda halnya dengan Pekerjaan Borongan, ini merupakan sistem
pemberian upah tenaga kerja. Pasal 1 angka 3 Kepmenaker No.
KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, menyebutkan “Tenaga kerja borongan
adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan
pekerjaan tertentu dengan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan
atau satuan hasil kerja.”
Permenakertrans No. 19/2012 yang mulai berlaku paling lambat Nopember
2013 ini, belum menjawab tuntutan para buruh/pekerja dan belum
memberikan perlindungan kepada pegawai kontrak dan outsourcing,
hanya mengatur penyerahan sebagian pekerjaan di luar usaha pokok.
Tuntutan para buruh/pekerja selama ini mengeluhkan adanya ketidak
pastian masa depan, sistem dan besarnya upah, kelangsungan pekerjaan,
cuti dan lain sebagainya.
Perjuangan untuk memperbaiki masa depan para pegawai kontrak dan outsourcing
masih begitu panjang. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan ikut
memiliki kepentingan terhadapap sistem perburuhan kita. Iklim investasi
harus menyejukan bagi para investor (pemodal), namun kesejukan tersebut
hendaknya juga dinikmati para steakholder yang lain seperti;
buruh/pekerja, masyarakat sekitar dan pemerintah. Agar terjadi harmoni
dan sinergi dalam tata kehidupan di Indonesia
Oleh Hartono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber :http://www.pajak.go.id/content/article/dilema-karyawan-outsourcing-dan-kontrak